Selayar, allnatsar.id – Masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar sangat prihatin dengan demonstrasi dan korban aktivis dari demonstrasi yang berlangsung bulan Agustus dan mungkin berlanjut sampai bulan September tahun 2025. Dalam benak masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar, demonstrasi yang disertai pembakaran (seperti pembakaran fasilitas umum, atau gedung telah menandakan eskalasi konflik dan ancaman terhadap negara Indonesia. Hal ini menimbulkan ketegangan antara warga sipil dan aparat keamanan, kondisi tidak aman di masyarakat, terutama di sekitar lokasi kejadian dan polarisasi di masyarakat antara yang mendukung aksi dan yang menolak.
Refleksi atas kejadian tersebut, masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar melakukan sholat istighosah, zikir dan dan doa pada tanggal 1 September 2025, untuk mengetuk pintu langit dan meminta agar Allah SWT memberikan rahmatnya. Karena pada dasarnya, kematian bukan hanya peristiwa biologis, melainkan juga realitas sosial dan spiritual yang mendalam dalam kehidupan manusia. Dalam tradisi Islam, sholat istighosah, zikir dan doa untuk orang yang telah meninggal menjadi bentuk penghormatan dan cinta yang tak putus. Lebih dari sekadar ritual, ia menjadi jembatan antara dunia yang fana dan yang kekal, serta menyimpan harapan akan kedamaian, bukan hanya bagi individu, tapi juga bagi bangsa secara kolektif.
Agar memahami makna lebih dalam dari praktek sholat istighosah, zikir dan doa ini, kita bisa melihat dari perspektif dua tokoh penting dalam antropologi yaitu Bronisław Malinowski dan Victor Turner. Dengan menggunakan perspektif Bronisław Malinowski, sholat istighosah, doa dan Zikir sebagai fungsi psikologis dan sosial yang hadir melalui ritual dan agama yang memiliki fungsi utama untuk mengatasi ketidakpastian dan kegelisahan manusia. Dalam konteks kematian, manusia sering menganggap tidak berdaya, sedih, bahkan takut. Sholat istighosah, zikir dan doa bagi yang telah meninggal dalam pandangan Malinowski, bekerja sebagai mekanisme untuk mengurangi kecemasan tersebut. Dengan kata lain, sholat istighosah, zikir dan doa mampu memberikan tiga fungsi yaitu memberikan ketenangan batin bagi keluarga yang ditinggalkan; meneguhkan keyakinan bahwa kehidupan tidak berhenti di dunia; dan menghadirkan struktur sosial yang menyatukan keluarga dan komunitas dalam momen berkabung.
Bagi Malinowski, ritual-ritual ini menjaga kohesi sosial dalam menghadapi ketidakpastian masa depan bangsa. Lebih luas lagi, ketika sholat istighosah, zikir dan doa dilakukan dalam skala lokal dan kolektif seperti yang dilakukan di Lapangan Pemuda Benteng yang dipimpin oleh ketua MUI Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengenang korban aktivis dan kegelisahan terhadap kondisi bangsa, berfungsi memperkuat solidaritas, harapan dan kedamaian.
Selain itu, antropolog Victor Turner menyatakan secara implisit sholat istighosah, zikir dan doa sebagai “proses liminal dan komunitas Spiritual”. Melalui konsep liminalitas—fase transisi dalam ritus peralihan—dan komunitas, yaitu rasa kebersamaan mendalam yang melampaui struktur sosial formal. Kematian juga adalah momen liminal, yaitu peralihan antara dunia kehidupan dan kematian. Dalam fase ini, sholat istighosah, zikir dan doa menjadi alat transisi spiritual, baik bagi yang meninggal maupun yang ditinggalkan.
Praktik sholat istighosah, zikir dan doa yang sering bersifat repetitif dan melibatkan aspek emosional, membuka ruang kontemplatif dan reflektif bagi peserta. Dari perspektif Turner, momen-momen sholat istighosah, zikir dan doa bersama seperti yang dipraktekan di Kabupaten Kepulauan Selayar, menciptakan komunitas—sebuah pengalaman spiritual kolektif yang menyatukan masyarakat, bukan karena status sosial, tapi karena kesamaan rasa dan tujuan yaitu mendoakan korban aktivis yang telah pergi dan berharap pada kedamaian.
Dalam konteks bangsa, dengan menggunakan perspektif Turner, sholat istighosah, zikir dan doa sebagai ritual pengikat moral dan spiritual bangsa. Di tengah konflik dan krisis, ritual bersama ini menjadi jeda liminal—ruang masyarakat merefleksikan arah bangsa, menyadari keterhubungan satu sama lain, dan berharap pada transformasi sosial menuju perdamaian. Sehingga sholat istighosah, zikir dan doa menjadi bentuk pengingat terus-menerus kepada Allah SWT, sedangkan doa adalah pengungkapan harapan dan permohonan kepada-Nya. Keduanya merupakan bentuk ibadah yang sangat personal, namun dalam praktik sosial-keagamaan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, sholat istighosah, zikir dan doa sering dilakukan secara kolektif. Ritual ini tidak hanya bertujuan spiritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan kultural yang kuat. Karena dalam setiap lantunan doa, tersimpan harapan bersama untuk keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bangsa. Di sinilah sholat istighosah, zikir dan doa bertransformasi menjadi ritual nasional yang menyatukan identitas moral dan spiritual masyarakat.
Dengan demikian, baik dari perspektif Malinowski maupun Turner, sholat istighosah, zikir dan doa bagi yang telah meninggal dan keprihatinan terhadap masa depan Indonesia, bukan hanya bentuk ibadah individual, melainkan bagian dari dinamika sosial dan spiritual bangsa. Dari “Negeri Tempat Berdoa (Tana Doang)” Selayar, sholat istighosah, zikir san doa tersebut mampu meredakan kecemasan, memperkuat struktur sosial, dan menciptakan stabilitas. Sholat istighosah, zikir dan doa tersebut menjadi pengingat liminal yang membuka potensi perubahan dan menghadirkan komunitas yang bisa menginspirasi kedamaian dan harapan. Karena, dalam dunia yang penuh konflik dan gejolak seperti di Indonesia saat ini, ritual sederhana seperti sholat istighosah, zikir dan doa bisa menjadi pernyataan diam namun kuat, bahwa bangsa ini masih punya harapan—dalam kenangan akan yang telah tiada, dan dalam doa yang tidak pernah putus untuk masa depan yang damai.