Demonstrasi, Nalar Massa dan Api. Tinjauan kritis Muhamad Arsat

- Jurnalis

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 10:23 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selayar, allnatsar.id – Bulan Agustus tahun 2025 menjadi bulan bersejarah bagi rakyat, dan mahasiswa karena begitu maraknya aksi massa di depan gedung DPR. Aksi massa dengan eskalasi yang sangat besar tersebut sebagai wujud dari melonjaknya gaji anggota DPR, dan kematian demonstran driver ojek online yg ditabrak mobil Rantis Brimob, telah menyulut demonstrasi, pembakaran dan bahkan yang paling tragis di kota Makassar karena kantor DPRD juga terbakar.

Pada dasarnya, fenomena demonstrasi massa yang sering disertai dengan aksi pembakaran ban dan benda lainnya merupakan praktik sosial yang kerap dipandang sebatas tindakan destruktif atau anarkis. Namun, jika dianalisis menggunakan teori antropologi, khususnya pendekatan simbolik dari Clifford Geertz dan konsep kekerasan simbolik dari Pierre Bourdieu, tindakan ini dapat dibaca lebih dalam sebagai “ekspresi kultural dan politik yang sarat makna”.

Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai “sistem makna” yang diekspresikan melalui simbol. Dalam konteks ini, demonstrasi tidak hanya sekadar aksi politik, melainkan juga “pertunjukan budaya” di ruang publik. Pembakaran ban dan benda lainnya, jika dibaca secara simbolik, dapat dimaknai sebagai: pertama, “simbol kemarahan kolektif”, karena api dan asap hitam mencerminkan intensitas emosi massa yang meledak akibat tekanan sosial, politik, atau ekonomi. Kedua, “pertunjukan dramatik” yang dibuktikan dengan aksi bakar ban dan benda lainnya mampu mengubah jalan raya menjadi panggung, sebagai wujud perlawanan massa yang menampilkan kekecewaan mereka kepada penonton—baik pemerintah, media, maupun masyarakat luas. Terakhir, bakar ban dan objek lainnya sebagai wujud “komunikasi non-verbal. Dalam kerangka Geertz, nyala api adalah simbol yang “dibaca” oleh semua pihak, sebuah pesan keras bahwa ada ketidakadilan yang harus ditanggapi. Dengan demikian, demonstrasi yang disertai dengan bakar ban dan objek lainnya bukanlah tindakan acak, melainkan sebuah tindakan simbolik yang mengkristalkan makna-makna sosial dan politik.

Baca Juga :  KPU Selayar Gelar Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih “Refleksi Demokrasi Pra dan Pasca Pemilu 2024

Selain, Clifford Geertz, pandangan dari seorang Pierre Bourdieu yang memperkenalkan konsep kekerasan simbolik, menyatakan bahwa terdapat bentuk kekuasaan yang bekerja melalui simbol, bahasa, dan representasi. Biasanya, kelompok dominan menggunakan simbol-simbol resmi (aturan hukum, narasi media, aparat berseragam) untuk mempertahankan dominasi mereka. Dalam demonstrasi, terutama melalui aksi bakar ban, massa melakukan “perlawanan simbolik” yang dapat dimaknai sebagai: makna: pertama, “melawan simbol kekuasaan negara” yang dibuktikan dengan api dan asap menjadi tandingan atas simbol negara seperti ketertiban, keamanan, dan stabilitas. Kedua, “mengganggu dominasi ruang publik” yaitu jalan raya yang biasanya milik negara untuk kelancaran aktivitas sosial diubah fungsinya menjadi ruang perlawanan. Terakhir “produksi makna tandingan”. Jika negara menyebarkan narasi stabilitas, aksi bakar ban dan objek lainnya justru menampilkan realitas “ketidakstabilan” dan “ketidakpuasan” sebagai kebenaran lain yang harus diakui. Dengan demikian, menurut Bourdieu, demonstrasi, massa dan api, dapat dipahami sebagai strategi simbolik kaum lemah untuk menegaskan eksistensinya dalam arena politik, sekaligus mengganggu dominasi simbolik penguasa.

Baca Juga :  DEBT COLLECTOR YANG SAKIT; Tinjauan Kritis Muhamad Arsat

Oleh karena itu, jika Geertz menekankan bahwa aksi bakar ban adalah simbol budaya yang mengandung makna kolektif, maka Bourdieu menekankan bahwa simbol itu juga adalah alat perlawanan terhadap dominasi kekuasaan. Dengan memadukan keduanya, kita dapat memahami logika yang sarat makna dari demonstrasi, massa dan api sebagai sebuah ritual simbolik yang mencerminkan emosi, solidaritas, dan identitas massa, sekaligus praktik politik simbolik yang menantang hegemoni negara melalui penciptaan makna tandingan.

Berita Terkait

BPBD Kota Makassar Lakukan Asesmen Cepat Pascakebakaran Rumah Usaha di Tamalanrea
Makassar Bersatu dalam Doa untuk Kedamaian Kota, Lintas Elemen & Pemkot Jaga Harmoni
Pemkot Makassar Salurkan Santunan Rp98 Juta Lebih Jaminan Sosial ke Keluarga Abay
Makna Sholat Istighotsah, Zikir Dan Doa Bersama; Dari Selayar Untuk Keselamatan Bangsa, “Oleh Muhamad Arsat”
Bentuk Perhatian dan Kepedulian Pemerintah Kota, Munafri-Aliyah Serahkan Santunan Bagi Keluarga Korban
Rapat Koordinasi Nasional, Pegawai Korban Insiden Jadi Perhatian Dapat Santutan
Walikota dan Forkopimda Makassar bersama OKP Serukan Makassar Damai
BPBD Kota Makassar Tegaskan Peran Komando dalam Penanganan Kebakaran DPRD
Berita ini 82 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 2 September 2025 - 11:07 WIB

BPBD Kota Makassar Lakukan Asesmen Cepat Pascakebakaran Rumah Usaha di Tamalanrea

Selasa, 2 September 2025 - 10:59 WIB

Makassar Bersatu dalam Doa untuk Kedamaian Kota, Lintas Elemen & Pemkot Jaga Harmoni

Senin, 1 September 2025 - 14:36 WIB

Makna Sholat Istighotsah, Zikir Dan Doa Bersama; Dari Selayar Untuk Keselamatan Bangsa, “Oleh Muhamad Arsat”

Senin, 1 September 2025 - 11:46 WIB

Bentuk Perhatian dan Kepedulian Pemerintah Kota, Munafri-Aliyah Serahkan Santunan Bagi Keluarga Korban

Senin, 1 September 2025 - 08:25 WIB

Rapat Koordinasi Nasional, Pegawai Korban Insiden Jadi Perhatian Dapat Santutan

Berita Terbaru

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, memantau situasi demonstrasi melalui layar pemantau di War Room Balai Kota Makassar, Senin (1/9/2025).

Education

Lewat Layar War Room, Munafri Awasi Situasi Demo Makassar

Selasa, 2 Sep 2025 - 10:58 WIB