Jakarta, allnatsar.id – Maraknya aksi kriminalitas seperti peredaran uang palsu hingga pungutan liar (pungli) yang dilakukan organisasi masyarakat (ormas) kembali menjadi sorotan publik. Fenomena ini diyakini bukan hanya masalah sosial biasa, melainkan tanda dari tekanan ekonomi yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, polisi mengungkap kasus pabrik uang palsu di Perumahan Griya Melati 1, Bogor, serta penangkapan mantan aktris Sekar Arum Widara yang terlibat dalam peredaran uang palsu. Di sisi lain, keluhan terhadap aksi premanisme dan pungli oleh ormas juga kian santer, terutama dari para pengusaha dan buruh.
Menurut Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, fenomena ini berkaitan erat dengan memburuknya kondisi ekonomi masyarakat. “Kalau kondisi ekonomi memburuk, pendapatan tertekan, peluang kerja makin kecil, pengangguran meningkat, maka tingkat kriminalitas juga meningkat,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (17/4/2025).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah Indonesia menyusut dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Sementara itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) juga melonjak tajam. Sepanjang 2024, tercatat 77.965 pekerja terkena PHK, naik 20,21% dari tahun sebelumnya.
Tanda-tanda pelemahan daya beli pun tampak dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang hanya tumbuh 0,5% per Maret 2025. Sementara, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Bank Indonesia terus menurun tiga bulan berturut-turut, menandakan kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi makin merosot.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, juga menyoroti dampak tingginya suku bunga yang membuat masyarakat kesulitan memperoleh likuiditas. “Dalam rezim suku bunga tinggi, uang makin sulit diakses, sehingga sebagian orang memilih jalan pintas, seperti menggunakan uang palsu,” ungkapnya.
Masalah pungli oleh ormas juga mendapat sorotan dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK). Menurutnya, aksi-aksi tersebut dipicu oleh sulitnya mendapat pekerjaan formal di Indonesia.
“Kalau mereka kerja semua, mana ada ormas di jalan. Itu problemnya,” tegas JK. Ia menekankan, solusi utama bukanlah penindakan semata, tapi membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Data BPS Agustus 2024 menunjukkan, 57,95% pekerja masih berada di sektor informal, sementara pengangguran terbuka (TPT) mencapai 4,91% atau sekitar 7,47 juta orang, naik dari Februari 2024 yang sebesar 4,82%.
Fenomena meningkatnya kriminalitas ekonomi ini tampaknya menjadi sinyal keras bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ketika masyarakat terdesak kebutuhan, jalan pintas pun menjadi pilihan—bahkan yang melawan hukum.