Makassar, allnatsar.id – Mundurnya Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari kursi DPR RI bukan sekadar peristiwa politik biasa. Bagi banyak kalangan, keputusan ini adalah alarm keras bagi perjuangan perempuan di Senayan.
Saraswati, yang dikenal sebagai salah satu legislator muda vokal membela isu kesetaraan gender, perlindungan perempuan korban kekerasan, hingga hak-hak penyandang disabilitas, kini memilih mengakhiri kiprahnya di parlemen. Dalam video singkat yang ia unggah di Instagram, Rabu (10/9/2025), Sara menyampaikan salam perpisahan disertai permintaan maaf kepada publik.
Keputusan itu langsung menuai reaksi. Salah satunya datang dari Marwati Sumardi, Ketua Kohati HMI Cabang Makassar. Ia menilai, mundurnya Sara adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi Partai Gerindra, tetapi terutama bagi perjuangan perempuan Indonesia.
“Kehadiran perempuan di parlemen bukan sekadar angka. Itu adalah representasi suara, pengalaman, dan realitas hidup yang berbeda dari laki-laki. Mundurnya Mbak Sara bisa membuat ruang perempuan di DPR semakin menyempit. Kita tidak boleh membiarkan suara perempuan padam,” tegas Marwati.
Menurut Marwati, perempuan yang hadir di parlemen membawa perspektif unik yang sangat penting dalam menyusun kebijakan. Dari isu perlindungan ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi perempuan, hingga penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual—semua membutuhkan legislator yang paham betul pengalaman perempuan.
“Kalau jumlah perempuan di DPR terus berkurang, maka kepentingan perempuan rawan diabaikan. Padahal, Indonesia sangat membutuhkan kebijakan yang benar-benar responsif gender,” lanjutnya.
Fraksi Gerindra sendiri menyatakan menghormati keputusan Saraswati. Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI, Bambang Hariyadi, menyebut pernyataan Sara yang sempat menuai polemik hanyalah bentuk motivasi, bukan masalah serius. Namun, proses internal partai tetap berjalan dengan keputusan menonaktifkan Saraswati sementara.
Meski begitu, Marwati menilai momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi partai politik untuk memberi ruang lebih besar kepada kader perempuan. Menurutnya, keberadaan perempuan di parlemen bukan pelengkap, melainkan kebutuhan mutlak.
“Kita harus melihat ini sebagai panggilan. Perempuan harus berani masuk politik, berani bersuara, dan partai harus membuka jalan. Karena tanpa perempuan, parlemen hanya akan berjalan setengah hati,” pungkas Marwati.
Kini, pertanyaan penting menggantung: apakah mundurnya Saraswati akan membuat suara perempuan di Senayan kian melemah? Ataukah justru memantik semangat baru bagi generasi perempuan lain untuk tampil dan melanjutkan perjuangan?







