JAKARTA | allnatsar.id – Saat ini kutukan sumber daya alam (natural resouces curse) disinyalir tengah terjadi di Indonesia. Ini sangat mengkhawatirkan dan membahayakan. Jika dibiarkan kita akan terperangkap pada situasi negara yang terjebak pada pendapatan menengah (middle income trap) dan akan mengarah pada negara gagal (false state) yang bisa menyebabkan perpecahan.
Pengamat ekonomi politik senior yang juga adalah Gurubesar IPB Bogor Didin S Damanhuri menyatakan hal itu kepada KBA News, Jum’at, 13 Juni 2025 menyikapi kisruh kontroversi tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. “Kasus itu cuma satu dari banyaknya masalah pertambangan dan pertanahan di negara kita, yang nampaknya Pemerintah tidak dipertimbangkan akibat jangka panjangnya,” katanya.
Ditambahkan oleh peneliti senio Indef itu, fenomena kutukan SDA itu diinpirasikan oleh Belanda pada tahun 1960-an yang waktu itu kaya Migas tetapi kemudian dampaknya malah memperlambat pertumbuhan ekonomi dan tidak memecahkan masalah sosial dan kesejahteraan. Lalu mereka memperbaiki tata kelolanya dengan cara mencegah korupsi dan menjaga tidak terjadi konflik sosial di tengah masyarakat. Belanda berhasil mengatasi semua itu.
Dia mengingatkan, saat ini kutukan SDA itu sudah mengarah ke Indonesia dan nampaknya akan terjadi dengan lebih masif dan membahayakan. Sudah terlihat banyak tanda-tanda yaitu di daerah-daerah di mana ada konsentrasi pemanfaatan SDA ini, seperti migas, gas, nikel, batubara, sawit dan karet, rakyat wilayah di sekelilingnya tidak mendapat manfaat yang maksimal. Ini terlihat jelas di Papua, Morowali, Ternate, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Banyak wilayah kaya SDA di sekitarnya justru tidak membuat makin sejahtera bahkan makin miskin.
“Mengapa itu bisa terjadi? Karena tatakelola SDA itu buruk. Perizinannya kongkalikong antara pemerintah dengan pengusaha. Juga terjadi korupsi dan manipulasi terhadap hasil SDA itu. Ini menimbulkan masalah besar. Alam menjadi rusak parah tetapi rakyat tidak menikmati. Mereka menjadi teralienasi (terasing) dari proyek-proyek yang menghasilkan dana besar untuk pengusaha dan penguasa dalam permufakatan jahat,” kata Didin.
Secara teknis, tambahnya, hasil ekspor SDA itu secara nasional sangat besar, kira-kira 85 persen dari ekspor nasional secara keseluruhan. Itu tentunya menyebabkan kenaikan pendapatan negara. Kondisi ini memperbaiki kurs mata uang menjadi tinggi. Tetapi dampak negatifnya juga tidak kecil. Industri manufaktur malah menurun, karena pemerintah lebih mendahulukan eksplorasi SDA karena tingginya insentif yang diterima negara.
Berdasarkan data, di era Reformasi keadaan tidak membaik malah mengkhawatirkan. Telah terjadi deindustrisasi manufaktur, yang saham dan kontribusi terhadap negara terus menurun tajam. Di akhir Orde Baru atau awal Reformasi kontribusi itu sebesar 30 persen sekarang ini hanya 18 persen, Ini diperparah oleh pertumbuhan ekonomi yang semakin kecil.
Terjebak masalah akut
Di masa Orde Baru pertumbuhan mencapai 7,5-8 persen, di era Reformasi hanya berkisar 5 persen. Dengan kondisi seperti itu, jika tatakelola SDA ini tidak diperbaiki maka kita bisa terjebak kepada kutukan SDA tadi. Yaitu kayanya SDA mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi lambat dan membuat deindustrialisasi sektor manufaktur. Padahal sektor terakhir ini sangat penting karena memberikan keterampilan kepada rakyat banyak, dari pada industri ekplorasi SDA.
“Yang paling parah membuat rakyat di daerah penghasil SDA itu semakin miskin karena tidak mendapat manfaat dari kelimpahan SDA itu. Ini makin diperparah dengan konflik agraria antara rakyat yang dipaksa menyerahkan tanahnya kepada pemodal yang didukung penguasa. Umumnya terjadi rakyat dikalahkan dan tersingkir. Ini memiriskan hati karena menyentuh rasa keadilan yang didambahkan rakyat,” kata Didin yang juga pengajar di Universitas Paramadina itu.
Oleh karena itu, tambahnya, reformasi tata kelola komoditas SDA yang merupakan andalan ekspor Indonesia tersebut haruslah dikakukan secara mendasar dengan melakukan beberapa langkah. Pertama, izin-izin usaha untuk ekspoitasi SDA itu tidak hanya ditangani oleh satu kementerian tetapi lebih interdep melibatkan banyak kementerian, juga melibatkan Pemda di daerah tersebut dan yang juga penting ada wakil dari masyarakat adat.
Kedua, ada audit yang berotoritas bukan saja dalam masalah finansial tetapi juga masalah eksporasi bertentangan atau tidak dengan UU dan Konstitusi. Ketiga, gerakan Antikorupsi harus diperkuat dengan dipelopori oleh KPK yang melihat dari segi politik dan KPPU untuk mengawasi penyalahgunaan yang dilakukan oleh entitas korporasi.
Ditekankannya, upaya yang bersungguh-sungguh untuk memperbaiki semua itu akan bisa mengurangi kutukan SDA. Ini adalah sesuatu yang serius untuk kebaikan rakyat dan negara ini. Kalau itu tidak dilakukan kita akan mengalami jebakan negara dengan penghasilan menengah (middle income trap) dan pada akhirnya akan menjadi negara gagal (failed state), seperti yang tejadi di negara Afrika yang kaya SDA tetapi tidak pandai mengelolanya.
“Ini yang harus diperhatikan dan diseriusi oleh pemerintah Prabowo. Kita jangan sampai mengalami seperti Afrika di mana negara pecah karena pengelolaan SDA itu tidak merata dan tidak memenuhi rasa keadilan dari kelompok dan daerah lain. Di mana kekayaan alam tidak jatuh ke rakyat banyak tetapi ke segelintir elit yang rakus dan serakah,” demikian Didin S Damanhuri.